Total Tayangan Halaman

Jumat, 23 Juni 2017

Catatan Ramadhan 1438 H



(Detik-detik Kepergiannya)


#Refleksi Malam Terakhir

Di saat ramadhan kian pergi
Aku masih mengusung diri melihat sekeliling
Mencari arti hidup sebagai hamba Ilahi
Adakah aku akan temui ia kembali?
Sungguh aku merindui
Andaikan ini ramdahan terakhirku,
Pasti aku merasa kecewa
Karena aku hamba yang berdosa…

            Malam ini ramadhan menyapa, jika kemarin ia datang bersama semangat keceriaan, kini ia datang kembali dengan pesan perpisahan, mengharapkan keistiqomahan, kesabaran, kekuatan dalam senggang menanti kehadirannya kembali (jika mampu bertemu kembali).
            Ramadhan akan hilang, bersama beberapa bagian dalam hidup yang telah usang. Seseorang berkata padaku, bahwa sesuatu yang terus terulang, pada saatnya akan henti. Mungkin kalimat ini juga berlaku pada hati ini. Bahwa seluruh kepedihan di masa lampau, pada saatnya akan terhenti juga dengan cara yang tepat. Mungkin manusia telah lelah, tapi Allah tak pernah lelah menantinya. Kami kembali kehilangan sesuatu di penghujung ramadhan ini, dan kami berusaha meneguhkan hati.
            “Apa yang engkau bawa untuk bekal melepas ramadhan ini?” Tanyanya. Aku tak tau, tapi ramadhan ini membuatku kembali belajar keras. Seperti kebijaksanaan yang berkata bahwa kebodohan dan kebencian adalah saudara kembar yang sulit dipisahkan, karena semakin bodoh manusia akan semakin mudah membenci karena minim pengetahuan dan sempitnya pola pikir. Ya benar, itu lah kebodohan. Kebencian muncul pada sesuatu yang ia tak memiliki pengetahuan atasnya, atau kebencian merupakan anak dari keangkuhan dan kesombongan karena tak mampu melihat diri sendiri dan orang lain dengan lebih luas. Maka belajar lah aku, belajarlah untuk tidak lagi membenci. Merangkul hati sendiri tak semudah merangkul hati orang lain, atau sebaliknya. Ntahlah, tapi merangkul hati kita menjadi sangat penting, agar ia mau mawas diri sehingga tak mudah terkotori dengan riya’, hasad, dendam, benci, iri, dengki, dan segala macam saudaranya.
            Kepada diri ini aku berkata, apa yang engkau peroleh dari ramadhan kali ini? Apakah sekedar mengkahatamkan Al Qur’an dengan lisanmu, namun bahkan lisanmu ini tak jemu-jemu melakukan kemaksiatan, melukai perasaan-perasaan yang lain seolah hanya dirimu yang memiliki perasaan. Tahanlah wahai diriku, tahanlah.
            Ustad Salim pernah menuliskan, Apakah Ikhlas itu menjadikan ‘amal terasa ringan?’. Jawabnya tidak, dan tidak selalu. Maka Allah berpesan melalui KalamNya,
“Berangkatlah dalam keadaan ringan ataupun berta, dan berjuanglah dengan harta dan dirimu di jalan Allah.” (QS. At-Taubah: 41)
Maka jangan berharap perjuangan yang ringan. Setiap perjuangan memang terasa berat, bermula dengan sesuatu yang berat, dijalani dengan kepayahan, dan berakhir dengan kualitas yang berat pula. Maka bawalah ia, bawalah kualitas ramadhan terberatmu.
            Jika engkau mampu meninggalkan amarah, maka bawalah kualitas ramadhanmu. Jika engkau mampu menjaga Al Qur’an, maka bawalah kualitas ramadhanmu. Jika engkau mampu menahan lisanmu, maka bawalah kualitas ramadhanmu. Jika engkau mampu menanam cinta sejati, maka bawalah kualitas ramadhanmu. Bawalah kualitas ramadhanmu dengan bersungkur di hadapanNya.
            Kita benar-benar berpisah. Berpisah dengan malam terakhirnya. Jangan lah lagi kita banyak bicara, jangan lagi membicarakan amalan-amalan kita, jangan lagi membicarakan kepayahan perjuangan kita, jangan hanguskan di malam terakhirnya. Seperti yang tertulis pada tulisan pertama, bahwa bulan ini akan menjadi refleksi kita satu tahun ke depan. Adakah yang berubah dari kita? Adakah yang telah kita perbaiki?
            Allah melepas ramadhan dengan ketenangan dan kebahagiaan dalam hati kita, maka bersyukurlah. Karena kebahagiaan ini tidak mengamini bahwa tak ada lagi masalah yang harus kita selesaikan di depan sana. Selalu ada ujian bagi kita setelah menyelesaikan ujian sebelumnya. Bersyukurlah karena kita akan dihadapkan pada ujian yang baru, setidaknya menjadi angin segar bagi kita, dan tetap berpegang teguh pada Kasih sayang Allah. Tak sampai sini perjalanan kita tanpa kasih sayangNya, tak seindah ini kisah kita tanpa cahaya dariNya. Biar lah kita bereuforia dengan cintaNya, untuk sedikit mengobati luka perpisahan dengan ramadhan. Untuk mengambil kembali ruh dan semangat berjuang dari kasih sayang Allah. Karena pada siapakah kita meminta energy selain kepadaNya?

29 Ramadhan 1438H/ 23 Juni 2017
Princess el-Fa

Selasa, 06 Juni 2017

Catatan Ramadhan 1438 H




(Dunia Macam Apa)

#Refleksi 11



            Kisah ini bermula ketika si aku sedang mencari pekerjaan. Ustadzah menyarankanku untuk mengirimkan sebuah lamaran kerja ke sebuah institusi pendidikan yang aku sama sekali asing dengan lingkungannya, bahkan ku bilang,”ah tidak us, di sana pasti isinya orang-orang jilbab besar-besar gitu ah males banget.” Polos sekali aku berkata. Namun intuisi seorang ustdzah yang mengharap kebaikan bagi saudara yang dicintainya itu, disupport terus si aku untuk mencoba mendaftarakan diri. Singkat cerita akhirnya aku bergabung juga di dalamnya, yang betul sesuai prediksiku, instutisi ini dipenuhi orang-orang berjilbab lebar, Oh My God..
            Tahun keduaku, dua orang pegawai baru diterima bergabung dengan institusi kami. Sau perempuan, satu laki-laki, dan keduanya ditempatkan sebagai pendamping wali kelas di grade kelas yang kuampu saat ini. Sudah cukup rasa ‘iyuh’ku pada orang-orang berjilbab lebar, nambah satu lagi pegawai baru berjilbab lebar yang sikapnya enggak banget, begitu lugu, pendiem, bicaranya itu lemah lembut. Kek gini ni model ukhti-ukhti, susah diajak ngobrol.
            Berjalan hampir satu tahun sejak mereka berdua bergabung, aku justru semakin dekat dengan si ukhti baru ini, “ternyata selama ini dia bersikap di balik banyak kepalsuan,” batinku bercanda. Bukan, bukan begitu maksudku. Kukatakan padanya, ternyata dia bisa gokil juga, dan dengan santai pula dijawabnya, ya masak orang baru kenal tiba-tiba rame, pendiem dikit yaw ajar. Dan kami pun lebih sering tertawa bersama, saling mencubit, mendesak tempat duduk, yang kalau kata ABG jaman sekarang ‘iyuh banget’ kalik ya (LOL). Pada intinya, dua pegawai baru yang datang bersamaan dalam duniaku ini menjadi orang-orang yang justru ‘klik’ denganku. Yang tadinya mungkin aku nggak percaya mau cerita sama orang, eh keluar juga ceritaku sama ni anak dua. Ntah ada peletnya apa ya.. (JK)
            Semua episode ini kemudian menjadi kisah, cause you know what?? Ramadhan ini mereka berdua memberiku surprise luar biasa. Aku sih tetep kalem, stay cool gitu dapet surprise ini, tapi lembat laun sedih juga. Baper iya sih..
            Siang ini, aku melihat mata sembabnya. Lalu kutarik jilbabnya, sadis mungkin, tapi itulah wujud cintaku. Kutanya mengapa ia menangis, matanya justru berkaca-kaca lagi, aku makin menariknya dan bertanya kembali. Yaa, ini lah surprisenya, dia akan meninggalkanku. dan taukah bahwa si guru baru yang datang bersamaan dengannya dulu pun akan meninggalkanku. mereka hadir dan pergi bersama-sama setelah mengambil suatu bagian dalam hidupku, itu Cinta.
            Mengalir lah cerita kami, matanya yang terus berkaca-kaca menceritakan niatannya akan resign dari rumah cinta kami. Melihat ada rasa yang berat di matanya, namun aku tetap dengan gaya cuekku, dan aku pun melihat rasa berat pada si guru baru yang satu nya itu. Mereka berdua sama-sama berat meninggalkan lingkungan ini. Lalu kutanya, abis dipesenin apa sih sama pimpinan sampai menangis sesenggukkan? Dan dia hanya menjawab, pesan agar sukses di manapun berada. Seperti aku mungkin yang dulu juga pernah menangis ketika mengahadap pimpinan, dan berjalan dua tahun aku yang dulunya anti banget masuk lembaga ini, kini merasakan ‘betah’ dan susah jauh dari sini. Nyeletuk dari mulutku yang membuat si ukhti tertawa, “Dunia Macam Apa Instutisi ini?” dan kami pun tertawa bersama. Ntah mengapa ketika masuk dalam lembaga ini rasanya berat untuk keluar. Apakah karena lingkungan yang nyaman? Atau karena pembawaan pimpinan yang begitu mengayomi dengan segala keanehan dan keunikannya? Ntah lah, kami tak mengerti, kami hanya tau rasanya berat jauh dari sini. Belum lagi aku harus ditinggalkan kembali oleh dua orang sekaligus yang datang mengisi hariku dan akan meninggalkanku secara bersamaan. Aku hanya berdoa mereka mendapatkan yang terbaik di episode selanjutnya, dan aku mampu bertahan di tempat ini dengan kenangan bersama mereka.
(NLM Story by FFP)

11 Ramadhan 1438H/ 6 Juni 2017
Princess el-Fa

Catatan Ramadhan 1438 H



(Agar Aku Sabar)


#Refleksi 10
            فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيلًا
“Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.” (Al-Ma’arij: 5)

            Sabar.. kata ini selalu memunculkan banyak ungkapan menarik menjadi bahan kajian. Mulai dari ‘makna sabar adalah ….’ Sampai ungkapan bahwa ‘sabar itu ada batasnya’. Dengan segala persepsi manusia mengartikan kata sabar menjadi begitu banyak makna. Ada yang mengatakan sabar adalah diam ketika sedang marah, sabar adalah menunggu dalam diam, sabar adalah tetap tersenyum walau hati terluka. Namun ntah mengapa saya tertarik untuk menyepakati suatu pendapat bahwa sabar adalah Teguh dalam Ikhtiar.
            Betulkah sabar ada batasnya? Saya pernah membahas ini dalam sebuah mata kuliah kajian Ilmu Tasawuf, dan saya tidak sepakat jika dikatakan sabar itu memiliki batas. Menurut Imam al-Ghazali sabar adalah keteguhan yang mendorong hidup beragama dalam menghadapi dorongan hawa nafsu. Kita garis bawahi kata ‘keteguhan’ dalam pengertian ini, keteguhan merupakan sesuatu yang tetap kondisinya, maka pengertian ini menjadikan makna sabar tak memiliki batas. Hanya saja manusia meembuat batasannya sendiri. Ketika seseorang marah kepada sikap seseorang, padahal biasanya ia tidak marah lalu seseorang berkata bahwa sabar itu ada batasnya, maka seseungguhnya hakikat kesabaran itu telah hilang darinya. Sabar merupakan sebuah keteguhan dalam mengendalikan hawa nafsu, dalam hal apapun. Maka ketika sabar ini mampu menjadi jiwa seorang anak adam, manusia akan begitu kagum dengan kesempurnaan karakternya.
            Sabar bukan redam nya hawa nafsu yang diperoleh dari waktu. Orang sabar mampu mengendalikan hawa nafsunya sejak pertama kali dorongan nafsu itu muncul, baik nafsu dalam melakukan maksiat maupun nafsu terhadap emosi. Orang-orang sabar mampu menjadikan masalah bagai hiasan indah dalam perjalanan hidup. Orang sabar tahan untuk tidak berprasangka buruk pada orang lain. Orang sabar mampu menahan diri untuk tetap melaju walau mendapati kegagalan. Ia tidak mengenal kata trauma, karena sabar merupakan salah satu ‘Kunci’ perwujudan indah dari nilai keimanan dan kebergantungan pada Allah. Bahwa ia menyadari dunia dikelilingi oleh hal-hal fana, dorongan nafsu, dan tipuan belaka, maka ia menjadikan keputusan dan langkah-langkah buruknya sebagai suatu hal yang tak boleh dimaklumi apalagi dibenarkan oleh dirinya sendiri. Ia teguh dalam mencari kebenaran untuk terus memperbaiki agamanya. Gambaran sabar bukan lah ketika ia menahan amarah, namun karena sabar ia mampu menahan amarah, maka kita katakan ‘Sabar Merupakan Kunci’.
            Sabar memang bukan lah sebuah tindakan, melainkan berbentuk modal dalam menentukan sebuah tindakan. Namun dengan modal sabar, manusia mampu menunjukkan keindahan yang mempesona, maka kita membaca dalam surat Al-Ma’arij:5 bahwa Allah memerintahkan kepada kita untuk bersabar dengan kesabaran yang ‘Jamil’, yang baik, yang indah, karena efek samping dari sabar merupakan suatu hal yang betul indahnya.
            Maka kita melihat, adakah orang-orang yang putus asa itu merupakan orang yang sabar? Adakah orang-orang yang melukai satu sama lain merupakan orang yang sabar? Adakah orang yang mengedepankan kepentingan pribadinya merupakan orang yang sabar? Adakah seorang pencuri merupakan orang yang sabar? Maka menjadi lazim bagi kita senantiasa mengidam-idamkan kepemilikan atas ‘Sang Sabar’. Ia merupakan peliharaan yang mengantarkan kehidupan kita pada kebahagiaan batin yang menyeluruh. Maka tidak ada kebahagiaan tanpa batas jika kita masih memaklumi diri untuk membatasi kesabaran. Allahu A’lam


10 Ramadhan 1438H/ 5 Juni 2017
Princess el-Fa